Oleh : Shohib Al Halim
K. cH. Shohib Al Halim
![K. cH. Shohib Al Halim](https://pokjaluhgrobogan.files.wordpress.com/2014/01/2.jpg?w=262&h=266)
Jumlah tersebut bisa saja akan lebih banyak lagi, sebab tidak menutup kemungkinan ada ODHA yang masih luput dari pantuan Dinas Kesehatan Kabupaten maupun Komisi Penanggulangan Aids Daerah ( KPAD). Adapun yang telah meninggal dilaporkan ada 49 penderita. Yang lebih mengejutkan lagi, penderita penyakit yang baru ditemukan tahun 1959 di daratan Afrika ini rata-rata usia produktif, yaitu usia 21- 30 Tahun 20,2% dan 31-40 Tahun 33,3%.
Dan anehnya yang menjadi korban dari penyakit ini tidak hanya mereka yang melakukan perbuatan melanggar hukum (Agama dan Positif) melalui hubungan seksual berganti-ganti pasangan, homoseksual dan penyalah gunaan Narkoba, tetapi ibu-ibu rumah tangga yang setia menunggu suaminya bekerja di luar rumahpun cukup tinggi angka penderitanya, bahkan jabang bayi yang tidak tahu menahu soal dosa juga tak sedikit yang kena imbasnya. Seperti yang dialami bocah balita di sebuah desa di kecamatan Karangrayung sampai sekarang harus menanggung hidupnya bersama penyakit yang menggerogoti kekebalan tubuh ini.
Upaya Pencegahan
Tentu upaya pencegahan penyakit yang mematikan ini sudah dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Grobogan melalui KPAD, kalangan LSM dan kelompok masyarakat peduli Aids. yaitu dengan cara sosialisasi tentang bahayanya penyakit HIV/AIDS ke berbagai tempat, baik di desa-desa, di sekolah-sekolah ataupun di organisasi kepemudaan dan lain-lain. Bagi si penderita juga sudah diupayakan obat antiretroviral (ARV) secara berkala yang sifatnya hanya memperlambat perkembanagan virus dalam tubuh, tidak mengobati. Karena penyakit ini sampai sekarang memang belum ditemukan obatnya.
Menyediakan VCT
Penyakit HIV/AIDS tidak seperti penyakit kronis lainya, selain penyakit ini awalnya disebabkan karena hubungan seksual yang tidak sehat (berganti-ganti pasangan dan homoseksual) dan penyalah gunaan obat terlarang, tentu membuat setiap orang akan riskan dan malu untuk memeriksakan diri. Karena stigma masyarakat terhadap si penderita amat kuat, karena penyakit HIV/AIDS masih dianggap sebagai penyakit kutukan yang perlu dijahui. Menurut hemat penulis, sebaiknya pemerintah menyediakan pelayanan atau klinik VCT/ Voluntary Consulting Test (Konsultasi dan pemeriksaan secara sukarela), tidak hanya di Rumah Sakit namun juga disetiap Puskesmas yang ada , dengan tujuan agar masyarakat lebih mudah mendapatkan akses informasi, konsultasi serta pemeriksaan secara mudah, namun tetap menjaga privasi pasien.
Merubah stigma
Kita tidak boleh memberikan cap ataupun label kepada penderita HIV/AIDS dengan sebutan apapun, mengapa? Bisa jadi si penderita tertular penyakit ini diluar jangkauannya. Misalnya melalui transfusi darah yang ternyata darahnya tercemar virus HIV, atau anak yang tertular orang tuanya dan lain-lain. Rasanya tidak adil kalau ada penderita yang tidak tahu-menahu terkena wabah ini, kemudian kita perlakukan diskriminasi. Karena hanya faktor apes saja orang tersebut harus menerima ‘hukuman’ dari masyarakat di lingkungannya. Tentu kita semua harus proporsional dalam memandang ODHA tersebut.
Pengamalan Agama
Pencegahan HIV/AIDS secara global memang sudah diupayakan dengan berbagai cara, namun upaya tersebut belum bisa mencapai hasil yang maksimal karena pencegahannya belum komprehensif, misalnya kampanye penggunaan kondom bagi yang ‘mau’ melakukan zina di lokalisasi. Menurut penulis itu kurang efektif, justeru ‘kebijakan’ itu akan menyuburkan praktek-praktek perzinaan baik secara terang -terangan maupun secara tersembunyi, terbukti data penderita setiap tahun terus bertambah. Bahkan secara nasional sampai akhir tahun 2011 jumlah ODHA mencapai 200.000 orang.
Akan lebih mengena kalau pemerintah menghapus lokalisasi dan membarantas secara besar-besaran sampai semua kemaksiatan yang menjadikan cikal bakal datangnya virus HIV ini, melalui perda misalnya. Namun proyek ini harus didukung semua pihak, baik Pemerintah Daerah dengan melibatkan beberapa dinas instansi , wakil rakyat, tokoh agama dan semua elemen masyarakat bahu membahu untuk mengsukseskan program ini. Tanpa ada kemauan yang kuat dari semua pihak penderita HIV/AIDS terus akan menghantui generasi kita. Satu lagi yang tak bisa ditinggalkan, yaitu penanaman nilai –nilai agama sejak dini, karena pencegahan yang paling efektif adalah pemahaman dan pengamalan agama!.
Shohib Al Halim, S.Ag, Pemerhati masalah patologi sosial dan Ketua Kelompok Kerja Penyuluh Agama pada Kementerian Agama Kabupaten Grobogan/2006-2010.